GAMBARAN bahwa moratorium (penghentian sementara) kegiatan penambangan adalah cita-cita tinggi yang sulit digapai tak terelakkan lagi. Karena begitu tingginya, banyak yang menganggap moratorium mustahil bisa dilaksanakan oleh pemerintah di kala iklim birokrasi cenderung korup dan kotor.
KENYATAANNYA, para bupati di daerah tambang batu bara memang beramai-ramai mengeluarkan izin pertambangan baru skala kecil. Bahkan, di Kalimantan Selatan, seorang bupati dengan "gagah perkasa" bisa mengeluarkan 100 lebih izin kuasa pertambangan (KP).
Namun, ada juga bupati di daerah Kalsel yang "tidak normal" dan berani menentang arus. Setidaknya sampai saat ini bupati itu masih gigih memperjuangkan moratorium, sekalipun hal itu akan ditentang oleh pemerintah pusat.
Baru saja menjabat, Bupati Hulu Sungai Selatan (HSS) Muhammad Sapi'i, mengultimatum semua perusahaan tambang batu bara baik legal-apalagi ilegal-di wilayah HSS untuk segera menghentikan operasinya (moratorium).
Keseriusan moratorium ditunjukkan dengan rencana mengeluarkan peraturan daerah tentang moratorium. Ide ini tentu saja melompati langkah Pemerintah Provinsi Kalsel maupun pemerintah pusat. Sapi'i memberi batas waktu 15 Agustus 2003 agar semua perusahaan menghentikan aktivitasnya. Menurut dia, tambang batu bara hanya menimbulkan kerusakan lingkungan, tanpa memberikan kontribusi yang berarti bagi daerah.
"Prinsipnya kami menghentikan sementara penambangan batu bara mulai hari ini. Termasuk perusahaan yang memegang izin Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) dari pemerintah pusat," katanya.
***
SEMUA orang tahu, baik perusahaan legal maupun ilegal, selalu merusak lingkungan. Hanya saja, SapiÆi berani mengambil langkah itu karena apa yang dilakukan perusahaan tambang tersebut sudah di luar ketentuan aturan tambang yang baik (good mining practice).
Kerusakan akibat penambangan semakin parah, dan kini HSS sedang terancam penjarahan oleh penambangan tanpa izin. Dari segi ketentuan yang berlaku, prasarana yang harus dipenuhi oleh penambang, antara lain harus mempunyai jalan sendiri, juga tak dipenuhi.
"Mereka menggunakan jalan eks-HTI (hutan tanaman industri) yang sekarang menjadi milik pemerintah kabupaten. Akibatnya, jalan dan empat jembatan rusak parah. Kerugian dari jembatan saja lebih dari Rp 500 juta, belum lagi kerugian akibat kerusakan jalan, sementara royalti yang kami terima hanya Rp 50 juta sampai Rp 70 juta," kata Sapi'i.
Reklamasi, menurut Sapi'i, juga belum dilaksanakan. "Katanya reklamasi menunggu tambang selesai. Reklamasi harusnya berjalan setiap saat, bukan menunggu habisnya batu bara. Bodoh kalau daerah
mau diperlakukan perusahaan seperti itu. Kami tidak ingin kecolongan seperti daerah lain," katanya.
Perusahaan legal di HSS yang mempunyai areal 12.000 hektar dengan produksi tahun 2002 sebesar 465.172 ton ini memang belum lama bereksploitasi. SapiÆi menganggap perusahaan itu sebenarnya belum layak diberi izin eksploitasi oleh pemerintah pusat.
"Perusahaan ini memanfaatkan KUD, jadi dia menyuruh KUD yang tidak memenuhi kualifikasi pertambangan untuk bekerja. Kalau pola ini diterapkan, hancurlah HSS. HSS tidak mendapat apa-apa, lalu di mana tanggung jawab perusahaan?" protesnya.
Sapi'i terus maju walaupun ditentang pemerintah pusat. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro memang telah berkomentar, moratorium hanya untuk kontrak baru, bukan untuk
perusahaan yang telah beroperasi. Namun, dengan nada penuh percaya diri, Sapi'i berprinsip
moratorium juga untuk perusahaan berproduksi yang nakal. Tekad Sapi'i itu sekaligus akan memberi pelajaran kepada pemerintah pusat yang tutup mata terhadap realitas di daerah.
"Kami berani menolak perusahaan PKP2B karena memang perusahaan ini tidak memenuhi kaidah pertambangan yang baik," katanya. Dia berpendapat, pola PKP2B tidak memberi kontribusi yang berarti bagi masyarakat. "Oleh sebab itu, kami ingin menata kembali kebijakan pemerintah pusat disesuaikan dengan kondisi riil yang ada di daerah," katanya.
***
DALAM diskusi "Menyoal Moratorium Tambang di HSS" yang digelar LK-3 Banjarmasin, Pejabat Pelaksana Kepala Biro Bina Mitra Polda Kalsel Ajun Komisaris Besar Shahril Moran mengatakan, sejak tanggal 16 Agustus perusahaan tambang di HSS memang berhenti beroperasi.
Akibatnya, 1.000 sampai 4.000 ton batu bara belum diangkut ke stockpile (tempat penampungan) perusahaan, dan masih berada di lokasi tambang. Buruh-buruh tambang terlihat menganggur, begitu juga truk dan dump truck berhenti beroperasi.
Shahril menegaskan, dalam kasus moratorium ini pihak kepolisian netral. Namun, Shahril mengingatkan, kini masyarakat banyak kehilangan pekerjaan di kala musim paceklik datang.
"Penambang mendesak Bupati HSS agar segera menyelesaikan masalahnya sehingga mereka bisa bekerja kembali," kata Shahril. "Jika penyelesaian masalah ini berlarut-larut, situasi ini bisa dimanfaatkan pihak ketiga," tambahnya.
Namun, Wakil Bupati HSS Badhar Johan mengatakan, gejolak tenaga kerja pascamoratorium tak separah yang dikhawatirkan. Badhar menegaskan, jumlah tenaga kerja yang menjadi subkontraktor perusahaan relatif sedikit. "Jumlahnya paling 200 orang. Harus diingat, mereka itu bukan menambang secara padat karya, jadi tidak melibatkan banyak pekerja," katanya.
Berry Nahdian Forqan dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalsel memberi solusi penanganan masalah tenaga kerja. Eks pekerja tambang bisa dipekerjakan untuk memulihkan lingkungan.
"Jadi pekerja yang akan digunakan untuk reklamasi yang terbengkalai dan memulihkan jalan dan jembatan yang rusak akibat tambang itu direkrut dari eks pekerja tambang itu. Dengan demikian,
gejolak tenaga kerja bisa dihindari," katanya.
***
MORATORIUM di HSS memang mendapat dukungan kalangan organisasi nonpemerintah di Kalsel. Maklum, selain hal itu merupakan barang baru, moratorium juga telah lama mereka teriakkan. Moratorium juga mendapat sambutan baik Pemprov Kalsel.
"Apa yang dilakukan Bupati HSS itu bisa menjadi contoh kabupaten lainnya. Ini shock therapy yang bagus, karena dia berprinsip menjaga lingkungan," kata Gubernur Kalsel Sjachriel Darham.
Sjachriel menyatakan, perusahaan legal itu secara tidak langsung diduga sudah memulai penambangan tanpa izin bekerja sama dengan koperasi unit desa. Kalangan organisasi nonpemerintah mengingatkan pentingnya penanganan lingkungan pascamoratorium. Direktur Eksekutif Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Adat (LPMA) Borneo Kalsel Yasir Al-Fatah mengatakan, penambang harus segera memulihkan lingkungan yang rusak. "Jika tidak, penambang bisa diseret ke pengadilan untuk dituntut secara hukum," katanya.
Langkah penuntutan secara hukum ini akan menjadi contoh juga dalam menangani penambangan tanpa izin (peti), karena selama ini peti terkesan dibiarkan saja oleh pemerintah daerah. "Bahkan istilahnya dibina," kata Yasir.
Koordinator Program Studi Kebijakan dan Hak Asasi Manusia Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK-3), Hasanuddin, mengusulkan agar Bupati HSS segera meminta Menteri Lingkungan Hidup mengaudit perusahaan tambang di daerahnya.
"Sudah menjadi tugas pemerintah untuk mendorong pelaku usaha melakukan audit lingkungan, ini sesuai dengan Undang-Undang Lingkungan Hidup Nomor 23 Tahun 1997 Pasal 28 dan 29," katanya.
Dalam pasal itu disebutkan, kewenangan Menteri Lingkungan Hidup memerintahkan pelaku usaha melakukan audit lingkungan apabila pelaku usaha tersebut menunjukkan ketidakpatutan terhadap ketentuan UU No 23/1997.
"Apabila pelaku usaha tidak melaksanakan perintah, menteri bisa melakukan audit sendiri atau meminta pihak ketiga untuk melakukan audit lingkungan atas beban biaya pelaku usaha," kata Hasanudin. Dengan audit tersebut, publik akan mengetahui apakah perusahaan tambang legal yang telah berproduksi itu merusak lingkungan atau tidak. Dengan audit tersebut, moratorium tambang yang dilakukan Bupati HSS mempunyai kerangka yang jelas.
Selain itu, untuk menghindari kemungkinan bupati diadukan perusahaan tambang ke arbitrase internasional, Hasanuddin mengusulkan agar bupati memberlakukan status force major. "Kontrak PKP2B antara negara dan perusahaan hanya bisa dibatalkan jika ada kondisi force major," katanya.
Banyak kalangan kini menyanjung keberanian Bupati HSS. Semua mata di Indonesia tertuju ke HSS, karena itu jika di kemudian hari ternyata di balik moratorium ada "udangnya", maka sanjungan itu pasti akan berbalik. Karena itu, kini tidak ada pilihan bagi Bupati HSS Muhammad Sapi'i kecuali terus melanjutkan moratoriumà. (Amir Sodikin)
Sumber :
Amir Sodikin
http://www.amirsodikin.com/index.php?option=com_content&task=view&id=84&Itemid=37
Tidak ada komentar:
Posting Komentar